Di dalam dua putusannya, MK berpendapat bahwa hak pilih
merupakan hak konstitusional, sebagaimana tercantum dalam pasal 25 ICCPR.
Dengan kata lain, MK menyatakan keberlakuan pasal 25 ICCPR tersebut dalam
sistem hukum Indonesia, setara dengan aturan-aturan konstitusi. Kenyataan ini
tentu merupakan angin segar bagi pegiat demokrasi dan HAM di Indonesia.
Nilai-nilai universal demokrasi dan HAM, sebagaimana dibahas di paragraf di
atas tadi, mulai diakui keberlakuannya di dalam sistem hukum Indonesia. Tetapi,
benarkah pengakuan seperti ini sudah merupakan jaminan yang memadai? Untuk
memastikannya, masih mesti kita lihat lagi bagaimana pembatasan hak dasar
tersebut dimungkinkan terjadi. Sebelumnya, ada baiknya kita selami lebih dulu
esensi hak pilih itu sendiri.
Dilihat dari pokok bahasan MK dalam dua putusannya, cakupan
hak pilih meliputi hak pilih eksekutif (008/PUU-II/2004) dan hak pilih
legislatif (011-017/PUU-I/2003). Sampai sejauh ini, bisa dikatakan tidak ada
pembedaan antara penggunaan hak pilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
dengan penggunaan hak pilih pada Pemilu DPR, DPD dan DPRD.
Hanya saja, kalau kita jeli mengamati, permohonan Alwi Shihab
sebagai individu untuk menggunakan hak pilihnya pada putusan perkara No.
008/PUU-II/2004, dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Alasan MK, Alwi
Shihab tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan permohonan. Sementara itu,
permohonannya sebagai ketua umum PKB yang mencalonkan Gus Dur, dapat diterima
oleh MK. Artinya, MK tidak melihat adanya hak pilih aktif yang dimiliki
individu, terkait dengan penolakan KPU terhadap pencalonan Gus Dur. Sedang hak
pilih aktif dan pasif dalam hal ini (melalui dukungan sebuah partai) adalah dua
sisi dari satu mata uang yang sama.
Dari kealpaan di atas saja, maka makna pasal 25 ICCPR itu
sendiri sudah mulai bergeser. Mengapa begitu? Karena, apabila kita baca
baik-baik naskah pasal tersebut, sudah jelas bahwasanya jaminan atas hak pilih
aktif dan pasif, ditujukan “untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari
para pemilih”. Sehingga, makna hak pilih semestinya dipahami dari dua sisi,
yaitu dari sisi aktifnya (memilih) dan sisi pasifnya (dipilih). Majelis hakim
MK sendiri hanya baru melihatnya dari satu sisi saja. Akibatnya, jaminan hak
pilih yang semestinya juga dipahami sebagai jaminan adanya kebebasan memilih
dalam sebuah Pemilu yang jujur, adil dan terbuka, hanya dipahami di dalam
konteks hak untuk dipilih. Pemahaman ini tentu membawa dampak pada pertimbangan
MK ketika menguji absah tidaknya pembatasan hak tersebut nantinya.
Pembatasan hak pilih
aktif dan pasif di Indonesia
Untuk menguji apakah pembatasan yang dilakukan pembuat
kebijakan atas hak pilih warga negara, maka konsep anti diskriminasi menjadi
penting untuk ditinjau. Sebagaimana telah penulis tuturkan di muka, rujukan
pada hak pilih diawali dengan pembahasan aturan-aturan anti-diskriminasi yang
tersurat di dalam UUD 1945. Menariknya, kuasa hukum dalam perkara No.
011-017/PUU-I/2003, juga menyitir pendapat dari seorang pakar HAM dari Amerika
(Henry Steiner: 1988), bahwa pasal 25 ICCPR “tidak hanya mendeklarasikan sebuah
hak asasi, tetapi melampaui hal tersebut dengan mengartikulasikan ideal politik
yang mendasari hak asasi”.
Meski begitu, majelis hakim MK tampaknya tidak tertarik untuk
meninjau permasalahan tersebut dari cita dasar untuk menciptakan sebuah sistem
politik yang terbuka. Apa yang dilakukan MK adalah kembali ke penafsiran
tekstual (literal), dengan membaca pasal 25 ICCPR kata perkata di dalam konteks
konsep anti-diskriminasi. Akibatnya, pencalonan seorang presiden yang memiliki
nilai politik, tidak akan berbeda dengan mekanisme lamaran kerja seorang
direktur perusahaan. Di bawah ini akan penulis rumuskan dulu metode yang
dipakai majelis hakim MK, dilihat dari putusan-putusan di atas.
Pertama, MK akan melihat alasan pembatasan atau pembedaan
dalam kasus bersangkutan. Menurut MK, alasan-alasan yang mungkin tidak
dibenarkan seperti dimaksud pasal 25 ICCPR, hanyalah alasan-alasan pembedaan
sebagaimana dimaksud di dalam pasal 2 ICCPR yang lengkapnya berbunyi: “Setiap
Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak
yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan
tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna
kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul
kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status sosial lainnya.”
Sehingga, alasan pembedaan yang menurut MK tidak terdapat
dalam pasal 2 ICCPR, tidak bisa dijadikan dasar bagi warga negara untuk
mempertahankan hak dasarnya yang bersumber dari pasal 25 ICCPR. Berdasar pada
argumen tersebut, MK memutuskan bahwa dasar permohonan yang diajukan oleh kuasa
hukum dalam kasus Gus Dur (008/PUU-II/2004) adalah tidak tepat. Sedang di sisi
lain, permohonan dari kuasa hukum dalam kasus (mereka yang diduga) ex-anggota
PKI (011-017/PUU-I/2003) yang mendasarkan permohonan pada pasal 25 ICCPR, dapat
diterima oleh MK. Alasan MK ketika itu, telah terjadi pembatasan atau pembedaan
atas dasar keyakinan politik. Sehingga, pembahasan dapat dilanjutkan ke tahap
berikutnya.
Ke dua, apabila MK menerima bahwa permohonan berdasar pada
pasal 25 ICCPR dapat diterima, sampailah kita pada tahap selanjutnya. Seperti
apakah kriteria suatu pembatasan oleh pengambil kebijakan yang masih bisa
dibenarkan? Sebenarnya, pasal 25 ICCPR sendiri sudah menggariskan sebuah
formulasi kumulatif. Selain pembatasan dimaksud harus tidak bertentangan dengan
konsep anti-diskriminasi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ICCPR, pembatasan
tersebut juga tidak boleh berupa “pembatasan yang tidak layak.”
Apa definisi layak atau tidak layak tersebut? Dalam hal ini, General
Comment No. 25 (1996) yang dikeluarkan oleh Human Rights Committee
(HRC)semestinya bisa digunakan untuk memberikan gambaran umum bagaimana pasal
25 ICCPR pada umumnya ditafsirkan.
Paragraf 15 dokumen tersebut mengatur tentang implementasi
hak pilih pasif:“The effective implementation of the right and the opportunity
to stand for elective office ensures that persons entitled to vote have a
free choice of candidates. Any restrictions on the right to stand for
election, such as minimum age, must be justifiable on objective and
reasonable criteria. Persons who are otherwise eligible to stand for
election should not be excluded by unreasonable or discriminatory requirements such
as education, residence or descent, or by reason of political affiliation. No
person should suffer discrimination or disadvantage of any kind because of that
person’s candidacy. States parties should indicate and explain the legislative
provisions which exclude any group or category of persons from elective office.”
Berdasar parameter tersebut, maka pembatasan hanya
dibolehkan, sepanjang berdasar atas kriteria perundangan yang obyektif dan
masuk akal, serta penetapannya mesti dilakukan melalui sebuah prosedur yang
jujur dan adil.
Bagaimanapun juga, seperti sudah disebutkan di muka, MK
kembali ke rambu-rambu pembatasan hak asasi yang termaktub di dalam pasal 28 J
ayat 2 UUD 1945. Menurut MK, pembatasan yang dilakukan harus didasarkan pada “alasan-alasan
yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berlebihan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar