Jumat, 18 April 2014

Hak Pilih Aktif dan Pasif di Indonesia

Di dalam dua putusannya, MK berpendapat bahwa hak pilih merupakan hak konstitusional, sebagaimana tercantum dalam pasal 25 ICCPR. Dengan kata lain, MK menyatakan keberlakuan pasal 25 ICCPR tersebut dalam sistem hukum Indonesia, setara dengan aturan-aturan konstitusi. Kenyataan ini tentu merupakan angin segar bagi pegiat demokrasi dan HAM di Indonesia. Nilai-nilai universal demokrasi dan HAM, sebagaimana dibahas di paragraf di atas tadi, mulai diakui keberlakuannya di dalam sistem hukum Indonesia. Tetapi, benarkah pengakuan seperti ini sudah merupakan jaminan yang memadai? Untuk memastikannya, masih mesti kita lihat lagi bagaimana pembatasan hak dasar tersebut dimungkinkan terjadi. Sebelumnya, ada baiknya kita selami lebih dulu esensi hak pilih itu sendiri.

Dilihat dari pokok bahasan MK dalam dua putusannya, cakupan hak pilih meliputi hak pilih eksekutif (008/PUU-II/2004) dan hak pilih legislatif (011-017/PUU-I/2003). Sampai sejauh ini, bisa dikatakan tidak ada pembedaan antara penggunaan hak pilih pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dengan penggunaan hak pilih pada Pemilu DPR, DPD dan DPRD.

Hanya saja, kalau kita jeli mengamati, permohonan Alwi Shihab sebagai individu untuk menggunakan hak pilihnya pada putusan perkara No. 008/PUU-II/2004, dinyatakan tidak dapat diterima oleh MK. Alasan MK, Alwi Shihab tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan permohonan. Sementara itu, permohonannya sebagai ketua umum PKB yang mencalonkan Gus Dur, dapat diterima oleh MK. Artinya, MK tidak melihat adanya hak pilih aktif yang dimiliki individu, terkait dengan penolakan KPU terhadap pencalonan Gus Dur. Sedang hak pilih aktif dan pasif dalam hal ini (melalui dukungan sebuah partai) adalah dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Dari kealpaan di atas saja, maka makna pasal 25 ICCPR itu sendiri sudah mulai bergeser. Mengapa begitu? Karena, apabila kita baca baik-baik naskah pasal tersebut, sudah jelas bahwasanya jaminan atas hak pilih aktif dan pasif, ditujukan “untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para pemilih”. Sehingga, makna hak pilih semestinya dipahami dari dua sisi, yaitu dari sisi aktifnya (memilih) dan sisi pasifnya (dipilih). Majelis hakim MK sendiri hanya baru melihatnya dari satu sisi saja. Akibatnya, jaminan hak pilih yang semestinya juga dipahami sebagai jaminan adanya kebebasan memilih dalam sebuah Pemilu yang jujur, adil dan terbuka, hanya dipahami di dalam konteks hak untuk dipilih. Pemahaman ini tentu membawa dampak pada pertimbangan MK ketika menguji absah tidaknya pembatasan hak tersebut nantinya.

Pembatasan hak pilih aktif dan pasif di Indonesia
Untuk menguji apakah pembatasan yang dilakukan pembuat kebijakan atas hak pilih warga negara, maka konsep anti diskriminasi menjadi penting untuk ditinjau. Sebagaimana telah penulis tuturkan di muka, rujukan pada hak pilih diawali dengan pembahasan aturan-aturan anti-diskriminasi yang tersurat di dalam UUD 1945. Menariknya, kuasa hukum dalam perkara No. 011-017/PUU-I/2003, juga menyitir pendapat dari seorang pakar HAM dari Amerika (Henry Steiner: 1988), bahwa pasal 25 ICCPR “tidak hanya mendeklarasikan sebuah hak asasi, tetapi melampaui hal tersebut dengan mengartikulasikan ideal politik yang mendasari hak asasi”.

Meski begitu, majelis hakim MK tampaknya tidak tertarik untuk meninjau permasalahan tersebut dari cita dasar untuk menciptakan sebuah sistem politik yang terbuka. Apa yang dilakukan MK adalah kembali ke penafsiran tekstual (literal), dengan membaca pasal 25 ICCPR kata perkata di dalam konteks konsep anti-diskriminasi. Akibatnya, pencalonan seorang presiden yang memiliki nilai politik, tidak akan berbeda dengan mekanisme lamaran kerja seorang direktur perusahaan. Di bawah ini akan penulis rumuskan dulu metode yang dipakai majelis hakim MK, dilihat dari putusan-putusan di atas.

Pertama, MK akan melihat alasan pembatasan atau pembedaan dalam kasus bersangkutan. Menurut MK, alasan-alasan yang mungkin tidak dibenarkan seperti dimaksud pasal 25 ICCPR, hanyalah alasan-alasan pembedaan sebagaimana dimaksud di dalam pasal 2 ICCPR yang lengkapnya berbunyi: “Setiap Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa perbedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status sosial lainnya.”

Sehingga, alasan pembedaan yang menurut MK tidak terdapat dalam pasal 2 ICCPR, tidak bisa dijadikan dasar bagi warga negara untuk mempertahankan hak dasarnya yang bersumber dari pasal 25 ICCPR. Berdasar pada argumen tersebut, MK memutuskan bahwa dasar permohonan yang diajukan oleh kuasa hukum dalam kasus Gus Dur (008/PUU-II/2004) adalah tidak tepat. Sedang di sisi lain, permohonan dari kuasa hukum dalam kasus (mereka yang diduga) ex-anggota PKI (011-017/PUU-I/2003) yang mendasarkan permohonan pada pasal 25 ICCPR, dapat diterima oleh MK. Alasan MK ketika itu, telah terjadi pembatasan atau pembedaan atas dasar keyakinan politik. Sehingga, pembahasan dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya.

Ke dua, apabila MK menerima bahwa permohonan berdasar pada pasal 25 ICCPR dapat diterima, sampailah kita pada tahap selanjutnya. Seperti apakah kriteria suatu pembatasan oleh pengambil kebijakan yang masih bisa dibenarkan? Sebenarnya, pasal 25 ICCPR sendiri sudah menggariskan sebuah formulasi kumulatif. Selain pembatasan dimaksud harus tidak bertentangan dengan konsep anti-diskriminasi sebagaimana diatur dalam pasal 2 ICCPR, pembatasan tersebut juga tidak boleh berupa “pembatasan yang tidak layak.”

Apa definisi layak atau tidak layak tersebut? Dalam hal ini, General Comment No. 25 (1996) yang dikeluarkan oleh Human Rights Committee (HRC)semestinya bisa digunakan untuk memberikan gambaran umum bagaimana pasal 25 ICCPR pada umumnya ditafsirkan.

Paragraf 15 dokumen tersebut mengatur tentang implementasi hak pilih pasif:“The effective implementation of the right and the opportunity to stand for elective office ensures that persons entitled to vote have a free choice of candidates. Any restrictions on the right to stand for election, such as minimum age, must be justifiable on objective and reasonable criteria. Persons who are otherwise eligible to stand for election should not be excluded by unreasonable or discriminatory requirements such as education, residence or descent, or by reason of political affiliation. No person should suffer discrimination or disadvantage of any kind because of that person’s candidacy. States parties should indicate and explain the legislative provisions which exclude any group or category of persons from elective office.”

Berdasar parameter tersebut, maka pembatasan hanya dibolehkan, sepanjang berdasar atas kriteria perundangan yang obyektif dan masuk akal, serta penetapannya mesti dilakukan melalui sebuah prosedur yang jujur dan adil.


Bagaimanapun juga, seperti sudah disebutkan di muka, MK kembali ke rambu-rambu pembatasan hak asasi yang termaktub di dalam pasal 28 J ayat 2 UUD 1945. Menurut MK, pembatasan yang dilakukan harus didasarkan pada “alasan-alasan yang kuat, masuk akal dan proporsional serta tidak berlebihan.”